Pandanglah jiwa sebagai pancuran, aliran kehidupanmu mengucur dari situ, semua bentuk yang engkau lihat, memiliki “mata air tetap” di alam tak bertempat. Tidak mengapa ketika bentuk musnah, karena aslinya selalu abadi.
Semua wajah cantik yang pernah kau lihat, semua kata penuh makna yang pernah kau dengar, janganlah berduka ketika semua itu hilang, karena sesungguhnya tidaklah demikian adanya
Ketika mata air menjadi sumber tak-terhenti, cabangnya terus mengalirkan air kemana-mana, lalu, apa yang engkau keluhkan? apa juga yang engkau risaukan?
Pandanglah jiwa sebagai pancuran, dan semua ciptaan ini sebagai sungai, ketika pancuran mengucur, sungai pun mengalir dari situ.
Taruhlah kesedihanmu, dan teruslah minum air sungai ini, jangan pernah pikirkan kapan surutnya, aliran ini tiada hentinya.
Dari saat pertama engkau memasuki alam wujud ini, sebuah tangga sudah ada di hadapanmu, sehingga engkau dapat menapaki tangga ini untuk naik keatasnya.
Pertama engkau adalah mineral, lalu engkau berubah menjadi tetumbuhan, kemudian engkau menjadi hewan, hal ini semua telah kau lewati dan menjadi rahasia bagimu?
Kemudian engkau menjadi insan, dengan pengetahuan, akal dan keyakinan.
Pandanglah raga ini, yang tersusun dari tanah liat kering, pandanglah bagaimana dia telah tumbuh dengan sempurna. Ketika engkau berjalan terus dari insane, tiada diragukan lagi engkau akan menjadi malaikat.
Ketika engkau telah meninggalkan bumi ini, maka kedudukanmu adalah di langit, lewatilah ke-malaikat-anmu, masukilah samudra itu.sehingga tetesanmu menjadi lautan yang tak terhingga luasnya. tinggalkanlah kata “manusia” katakanlah “Yang Maha Esa” dengan seluruh jiwamu.
Tidak menjadi soal bila raga menjadi tua, lemah dan lusuh; ketika jiwa senantiasa muda.
Surah An-Nisa, (4 : 79)
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah (faminallah), dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari kesalahan dirimu sendiri (faminnafsika) . Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.”
•••