Malam
kembali datang, diiringi rintik hujan yang masih betah membasahi bumi
tandus yang dipenuhi luka dalam lika-liku hidup. Aku masih sibuk
menikmati segelas kopi yang terhidang tepat dihadapanku. Tanpa kusadari
aku telah menghabiskan waktu berjam-jam di kafe yang cukup mewah ini
sendiri. Kuperhatikan sekelilingku, banyak orang sedang sibuk dengan
urusan mereka masing-masing. Sebagian dari mereka terlihat bahagia,
namun sebagian lagi terlihat penuh kepura-puraan.
Seperti sepasang kekasih yang duduk tepat di depan mejaku, mereka sedang sibuk memadu kasih tanpa memperdulikan orang-orang yang ada disekitar mereka. Seakan kami yang berada disekitar mereka hanya lah proyeksi dari pikiran mereka, tak nyata. bersenda gurau, penuh tawa dan senyum bahagia. Terdengarku jelas mereka sedang membicarakan masa depan mereka bersama kelak, penuh bahagia, seakan cinta mereka takkan terpisahkan oleh masalah sebesar apapun.
-------
Berbeda dengan 3 pria
yang duduk disebelah meja mereka. Kelihatannya mereka sedang
membicarakan pekerjaan mereka. 3 pria, 2 dari mereka terlihat elegan
dengan setelan jas berkelas dan jam bemerk yang cukup membuktika mereka
memiliki jabatan penting dalam pekerjaan mereka. Sedangkan pria yang
satunya? Dia terlihat biasa saja, dengan kemeja berwarna biru muda tanpa
setelan jas, memegan beberapa tumpukan kertas dan hanya memperhatikan
kedua bos itu berdebat kecil. Menurut kesimpulanku, dia adalah seorang
budak aktivitas yang mungkin lebih sering kita sebut karyawan. Raut
wajahnya memperlihatkan kenyamannya duduk diantara dua orang yang
memiliki status sosial jauh berada diatasnya. Kuperhatikan lebih
seksama, ternyata raut mukanya menyiratkan kepura-puraan. Dia tertekan,
seakan ada sesuatu yang menolak dalam dirinya untuk duduk bersama dua
pria lainnya.
Tak berhenti aku
memperhatikan sekelilingku, melihat beberapa meja yang ada disekitarku.
Pandanganku terhenti saat mataku melihat seorang anak kecil yang sedang
duduk berdua dengan ayahnya disamping mejaku. Senyum polos bahagianya
membuat terenyuh sejenak. Sang ayah terlihat tersenyum melihat tingkah
lucu bidadari kecilnya yang sedang sibuk memakan es krim yang ada
dihadapannya. Sorotan mata ayahnya terlihat sendu, seakan ada tangis
jauh di dalam lubuk hatinya, tapi dia berusaha menutupinya dengan senyum
tipis dibibirnya mendengar ocehan anaknya.
"Seandainya mama masih
ada, mama pasti sekarang lagi duduk bareng kita ya pa. Makan es krim
juga bareng aku. Tapi mama sekarang ada di surga kan pa? Mama juga lagi
makan es krim kayak kita sekarang ya pa. Kalo di surga ada banyak es
krim kan pa? Kita bisa makan es krim sampai kenyang" Celoteh anak itu
sambil memarkan gigi-gigi mungilnya dan mulutnya yang belepotan es krim.
"Iya nak, mama sekarang lagi senyum sambil makan es krim sambil senyum ngeliatin kamu sekarang" jawab ayahnya getir.
Aku tersentak mendengar
perkataan gadis kecil mungil ini, dia dapat menerima kepergian ibunya
dengan penuh keikhlasan. Secara tak sadar aku berkaca pada diriku
sendiri. Aku seorang pria dewasa yang telah kehilangan kedua orang tuaku
pun tak mampu tersenyum seindah gadis kecil ini. Aku sadar, terkadang
kita sebagai orang dewasa harus belajar dari anak-anak. Mereka yang
mampu bahagia dengan hal-hal sederhana. Karena tak selamanya bahagia itu
hanya datang dari hal-hal besar, terkadang bahagia itu datang dari hal
kecil, tergantung bagaimana kita mensyukurinya.
Kuperhatikan jam tangan
yang melekat di tangan kiriku yang telah menunjukkan pukul sepuluh
malam. Kuhabiskan minumanku dan beranjak pergi meninggalkan cafe itu.
Sebelum aku pergi, gadis kecil itu melemparkan senyum manisnya padaku,
kubalas senyumnya, aku berterima kasih padanya karena telah mengajariku
cara mensyukuri kehidupan.
•••
Keesokan harinya aku
kembali kedalam rutinitasku. Bekerja disalah satu perusahaan yang
bergerak dalam bidang leveransir dan konstruksi. Semua berjalan seperti
biasa. Aku bertemu dengan orang-orang yang sama setiap harinya.
Orang-orang yang sudah kukenal baik tabiatnya. Dari seorang penjilat,
orang baik, orang picik, bahkan sang pemfitnah. Aku menikmati
kehidupanku saat ini. Setidaknya aku telah hidup lebih baik daripada
kehiupanku beberapa tahun lalu.
Pukul 5 sore, aku telah
selesai dengan segala jenis pekerjaanku dan bersiap untuk pulang. Seakan
langit tak bosan menurunkan air, hujan kembali turun sore ini. Aku
memutuskan untuk berteduh sebentar menunggu hujan reda di sudut jalan
dekat rumahku. Disaat aku berteduh, aku ditemani beberapa orang yang
juga menunggu sang langit berhenti menuangkan air matanya. Terlihat
beberapa dari mereka adalah pegawai kantoran sepertiku, ada pula
beberapa anak-anak yang masih berseragam sekolah dan mahasiswa membawa
buku-buku perkuliahan mereka.
Kuhidupkan sebatang
rokok untuk menghilangkan rasa dingin yang menyelimuti tubuhku. Aku tak
begitu tertarik untuk memperhatikan orang-orang disekitarku sampai aku
terdiam melihat sesosok wanita yang juga sedang berteduh di balik
derasnya hujan. Wanita dengan rambut hitamnya yang panjang dan terurai,
bola matanya yang bulat bersinar dan bibir tipisnya yang merah padam.
Dadaku berdesir memperhatikan sosoknya. Kuperkirakan umurnya tak jauh
beda denganku, sekitar 21-23 tahun. Dia terus memperhatikan jamnya
seakan tak sabar menunggu redanya hujan. Akhirnya setelah
menimbang-nimbang, aku memberanikan diri untuk berbicara dengannya.
"Hai, sendirian? nunguuin hujan reda juga?" basa-basiku membuka pembicaraan.
"Eh, hai juga. Iya nih
udah setengah jam sendirian disini" jawabnya ramah sambil memamerkan
senyumnya. Senyum yang menyiratkan keramahan.
"Oh, emang kamu tinggal
dimana? Sama sih, aku juga udah nungguin hujan reda daritadi, tapi
kayaknya hujannya lagi ngambek gak mau berhenti daritadi." Jawabku kaku.
Aku memang bukan tipe orang yang mampu berbicara santai dengan orang
yang baru pertama kali kutemui.
"Di deket sini sih, itu
tinggal belok kekanan, yang ada bank itu" katanya sembari menunjuk. Aku
terkesima dengan keramahannya, jarang aku menemui seseorang yang begitu
ramah kepada orang yang baru ditemui.
Aku menawarkan untuk
pulang bersama, tapi dia menolak dengan halus. Aku mengerti, jarang ada
yang mau diantarkan pulang oleh orang yang baru ditemuinya dan aku pun
tak memaksa. Hari-hari selanjutnya aku tak pernah lagi bertemu dengannya
dan yang bodohnya aku lupa menanyakan namanya bahkan dimana dia
bekerja.
•••
Berbulan-bulan telah
berlalu setelah pertemuanku dengan gadis itu, bahkan aku telah melupakan
pertemuan kami disudut jalan kala itu. Aku menjalani rutinitasku
sebagai "budak aktivitas". Sampai pada suatu sore aku sedang berjalan di
taman dekat rumahku untuk menikmati sore. Aku terduduk di bangku taman
menikmati kesendirianku. Semenjak aku kehilangan kedua orang tuaku aku
menjadi seseorang yang pendiam, jarang aku berbicara jika kurasa tak
perlu berbicara. Aku lebih sering menghabiskan waktu duduk sendiri di
taman hanya untuk menikmati angin sepoi-sepoi dan memikirkan bagaimana
keadaanku kelak atau membaca buku yang kubawa.
"Hai, sendirian aja?" Sapa seseorang membuyarkan lamunanku.
"Hah?" jawabku bingung lalu menoleh ke arah suara yang membuyarkan lamunanku.
"Iya, sendirian aja?
Kayaknya kita sering ketemu gak sengaja gini ya" Suara itu berasal dari
gadis disudut jalan yang kutemui waktu itu.
"Iya, sendirian. Nyoba menikmati angin sore aja. Kamu sendirian juga?"
"Emang kamu liatnya aku bareng siapa?"
"Sendiri. hehehehe. Oh iya, namaku Rio, kemaren kita lupa kenalan"
"Oh, nama kamu rio. Namaku amorelia. panggil aja lia atau amy."
"Iya mi, kamu sering main kesini? Kok gak pernah ketemu?"
"Iya, aku suka kok kesini, terkadang cuma buat ngeliat senja"
"Kamu suka ngeliatin senja? Kenapa?"
"Ada ketenangan tiap liat
senja, hangatnya ngebuat kita ngerasa di peluk penuh kasih sayang"
katanya sambil menatap sang senja. Tatapannya menyiratkan sesuatu,
seakan ada yang tersimpan jauh dalam hatinya tapi enggan untuk
disampaikannya.
Aku tak mau menebak
terlalu banyak, setelah perbicangan kami yang cukup panjang aku
menyimpulkan dia sosok yang cukup tertutup. Keramahannya yang cukup
membuatku nyaman dan bisa berbicara cukup lama dengannya. Dia tak mau
membagi terlalu banyak tentang kehidupannya. Dia hanya bercerita tentang
keluarganya dan kisah percintaannya. Terakhir dia menjalin hubungan
dengan kekasihnya satu tahun yang lalu. Dia berpisah karena pacarnya
selingkuh. Aku tak mau membahas terlalu jauh, takut dia merasakan lagi
sakit yang pernah dialaminya.
Setelah sore itu kami
cukup sering bertemu, di taman tempat kami berbagi cerita dan tawa. Aku
mulai merasakan getaran getaran kecil tiap memandang matanya. Ada
keteduhan tiap kami saling bertatap mata, ada kenyamanan tiap kami salin
bertegur sapa. Rasa ini mulai membingungkan, aku mulai merasa cinta
perlahan menggerogoti hati dan pikiranku. Hingga akhirnya kuputuskan
untuk mengatakan apa yang kurasakan. Aku tak ingin dia membalas, aku
hanya ingin dia tau apa yang kurasa.
•••
Sore seperti biasa, aku
bertemu dengan dia di taman. Dengan kaos biru bergambar hati dia
berjalan menyusuri jalan setapak yang kiri kanannya dihiasi oleh bunga. "indah" hatiku bergumam, membuat hasrat dalam hatiku begitu menggebu menyatakan apa yang kuarasakan.
"My, aku tau mungkin ini
terlalu cepet. Aku gak pengen kamu ngebales atau ngejawab. Aku cuma
pengen kamu tau, aku sayang sama kamu." Kataku sambil menatap matanya,
mata yang selalu membuatku merasa ingin selalu berlama lama dengannya.
Dia hanya diam menatap
sang senja, ada raut kesedihan dalam wajahnya. Perlahan air mulai
berkumpul di sudut matanya yang siap turun membasahi pipinya yang
menjadi semu memerah terkena paparan sinar matahari. Yang ada dalam
pikiranku sekarang hanya rasa bersalah, aku telah membuka kembali luka
yang selama ini berusaha untuk disembuhkannya.
"Maaf, aku gak ada madsud ngebuat kamu nangis." kataku sambil berdiri dan beranjak pergi.
"Yo!" teriaknya sambil menggengam jemariku
"Kenapa?" tanyaku
Dia berdiri dan memelukku
erat dalam tangis, kusandarkan kepalaku pada bahunya, kucium dalam
dalam bahunya seakan aku bisa menghirup beban hatinya disitu.
"Tetap disini, temani aku sembuhkan lukaku. Aku ingin bersahabat dengan kenangan dan menghadapi dunia bersamamu"
THE END
Yeahh.. -_-
BalasHapusBaca ini jadi terharu nih.. T_T
BalasHapus